Hari demi hari. kurangkai kata.Tak
hanya di bibir tapi juga di hati. Meski kutahu. Mungkin tak utuh sepanjang
waktu. Karena rapuhku. Padahal semestinya dzikir tak pernah terusir . bahkan
disaat fikir dan ikhtiar menjalankan tugasnya. Dari awal hingga akhir.
Saat tubuh ini merebah. Barulah cinta
menumbuh. Tersadar akan dosa kecil dan besar. Dosa yang nyata dan tersamar. Entah
kenapa harus demikian. Kenapa harus disadarkan dengan teguran. Padahal tak
semestinya menunggu nikmat sehat diangkat. Lalu saat sakit baru cinta kembali
tertaut. RobbI…
Tapi inilah aku. Aku yang rapuh yang
baru mengeja cinta. Mencobanya menjadi biasa. Namun seringkali terlena oleh dunia. Dan cintapun
kembali sulit terasa. Benarlah kiranya bahwa meski disiram air dari tujuh samudra
sekalipun. Bahkan dikucuri air hujan dari tujuh langit sekalipun CINTA tak akan
tumbuh jika HATI dinahkodai kehendak buta. Tak tumbuh jika HATI dikunci dengan
gelimang dosa. Tak akan tumbuh jika HATI dibasuh nafsu selalu. Diselimuti keangkuhan
wujud pengusiran jati diri penghambaan. Tak akan tumbuh… tak akan ...
Maka aku bahagia jika airmata berlinang saat mensyukuri nikmat Mu. Bahkan air
mata ini adalah kado CINTA. Aku bahagia
jika airmata berlinang saat teringat dosa dan memohon ampun kepada Mu YA Robb. Bukankah
ini juga sedikit tanda cinta. Maka,
jangan biarkan hatiku beku ya Robb. Tanpa cinta. Hingga tak ada lagi air mata. Yang
bisa menjaga anggota tubuh yang terbasuh, haram terjilat api neraka Mu..
(Menangis…)
(Menangis…)
Suatu hari dipadang gersang
Makkah, 10 Robi’ul akhir 1434 H
Ardan
No comments:
Post a Comment